Di Balik Kisah Pilu Bencana Setahun Silam, "Torang Kecil di Mata Tuhan"

Written By Unknown on Jumat, 16 Januari 2015 | 11.35

TRIBUNMANADO.CO.ID - Banjir bandang 15 Januari 2014 menjadi saat yang tak terlupakan bagi Nontje Manoppo. Warga Paal IV ini mengaku masih trauma.

"Kalau ingat itu samua emosi campur aduk. Mo tatawa nda ada orang kile, mo manangis nda ada orang pukul. Ternyata manusia itu memang kecil di mata Tuhan. Kita ini tidak lebih dari daging yang bernapas," katanya dengan mata berkaca-kaca.

Masih membekas di ingatannya tatkala kepanikan yang dia alami ketika mencoba menyelamatkan barang-barang serta keluarga, termasuk anak-cucunya.

"Waktu itu kita da baku tolong angka tetangga pe barang-barang. Ternyata sementara baangka, tu aer kote so maso di dalam rumah. Kurang anak da bataria tu aer so di buku-buku. Pokoknya cepat skali kwa dia nae. Tu barang-barang laeng nda sempat diselamatkan," tuturnya kepada Tribun Manado, Rabu (14/1/2015), saat ditemui di kediamannya di Jalan Tingkulu, Kelurahan Paal IV Lingkungan 1, Kecamatan Tikala.

Lanjut Non, di tengah-tengah situasi yang menakutkan tersebut, dirinya yang sebenarnya takut langsung menjadi berani ketika menerjang air yang terus naik. "Mau tidak mau harus berani menerjang air. Saya berpegangan dengan anak ketika menerjang banjir," ungkapnya.

Grace Werung juga mengaku trauma bila membayangkan peristiwa setahun yang lalu itu. "Yang parah kwa tu aer capat skali nae. Akhirnya kita deng laki kurang batengke, kong tu barang di atas kapala pas lewat tu banjer," katanya.

Lanjut Grace, pada saat banjir kebersamaan antaranggota keluarga dan antar tetangga sangat hangat. "Kaya, miskin, tua, muda, kecil, besar semuanya sama. Makanan kami semua sama. Semua saling membantu dan saling menhibur. Semua dendam yang ada hanyut terbawa banjir. Kami bisa kuat karena kami bersama," ujarnya.

Dia sendiri sering mengingat masa-masa saat mereka masih berada di pengungsian. "Kami bernyanyi bersama melewati masa-masa sulit itu. Setidaknya itu menjadi memori yang indah untuk dikenang," tuturnya.

Dia berharap bencana seperti ini tidak terulang kembali. "Peringatan banjir bandang besok (kemarin), harusnya menjadi momentum kita untuk intropeksi diri. Jangan sampai bencana tersebut terulang kembali. Berubahlah untuk lebih bersahabat dengan alam, termasuk menjaga kebersihan lingkungan," kata Guru SD Negeri 116 Manado ini.

Lady Tahumil, warga lainnya, juga menceritakan pengalamannya ketika terjebak banjir selama 12 jam di tempat kerja. "Waktu itu nda bisa kemana-mana karena air sudah mengepung semua jalan," katanya.

Dia pun pasrah menunggu sampai air surut. Apalagi arus air yang sangat deras. "Dari jam 10 pagi sampai jam 10 malam di kantor terus. Perut pun sangat kelaparan," ujarnya.

Akhirnya ketika air sudah surut, dia pun memberanikan diri untuk menyeberang air. "Beruntung saya bisa kembali ke rumah setelah berani menyeberang banjir," tutupnya. (tiw)

Ikuti berita-berita terbaru di tribunmanado.co.id yang senantiasa menyajikan secara lengkap berita-berita nasional, olah raga maupun berita-berita Manado terkini.


Anda sedang membaca artikel tentang

Di Balik Kisah Pilu Bencana Setahun Silam, "Torang Kecil di Mata Tuhan"

Dengan url

http://dimanadoyodo.blogspot.com/2015/01/di-balik-kisah-pilu-bencana-setahun.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Di Balik Kisah Pilu Bencana Setahun Silam, "Torang Kecil di Mata Tuhan"

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Di Balik Kisah Pilu Bencana Setahun Silam, "Torang Kecil di Mata Tuhan"

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger