Bisnis Toilet Bisa Termasuk Korupsi!

Written By Unknown on Kamis, 24 Juli 2014 | 11.35

TRIBUNMANADO.CO.ID, MANADO - Toilet umum di fasilitas-fasilitas publik yang dibangun pemerintah sering dirasa sulit untuk dijaga kebersihannya. Menyiasatinya, instansi pemerintah mengalihkan tanggung jawab kebersihan itu kepada 'pihak ketiga'. Namun, langkah itu ternyata menyalahi aturan.

Selain di kantor-kantor pemerintah, toilet harus tersedia di bangunan-bangunan layanan publik seperti sekolah atau kampus, rumah sakit atau puskesmas, terminal, pelabuhan, pasar, dan taman. Toilet juga harus tersedia di instansi vertikal seperti kantor kepolisian atau pengadilan, serta badan usaha pemerintah seperti bank. Artinya, fasilitas toilet sudah termasuk dalam paket layanan publik yang harus tersedia secara layak dan gratis.

Namun, yang tampak selama ini adalah toilet tidak tersedia secara layak. Kebersihan yang tak terjaga sering warga keluhkan. Belum lagi standar kelayakan tak terpenuhi seperti air tak mengalir, tak ada penerang, pintu terlepas, dan sebagainya. Jikapun tersedia secara layak, warga yang menggunakannya diwajibkan membayar biaya retribusi.

Toilet di Taman Kesatuan Bangsa (TKB), kawasan Pasar 45 Manado, misalnya. Kawasan yang setiap hari dipadati ratusan manusia itu memberi pemasukan lebih dari penggunaan toilet. Ratusan ribu rupiah per hari bisa dikantongi Ida, sang penjaga toilet, dari bisnis itu.

Kepada Tribun Manado, Rabu (23/7/2014), ia mengaku, sebagai pihak pengelola dirinya musti membayar iuran sebesar Rp 1 juta ke Dinas Pariwisata Manado. "Itu iuran rutin yang harus dibayar setiap bulan," kata dia.

Ida mengenakan biaya Rp 2.000 untuk yang buang air kecil, serta Rp 3.000 untuk buang air besar. Karena hanya pengelola, ia harus membiayai perawatan toilet tersebut. Komponen ini, aku dia, adalah yang paling berat. Ia musti menyewa dua pekerja, serta membeli perlengkapan cuci seperti alat pel, sabun, hingga sikat pembersih toilet.

"Dua pekerja itu digaji sejuta perbulan, sedang sabun dibeli hampir tiap tiga hari. Ini memang musti dipel karena lantainya dari tegel," bebernya.

Letak toilet yang berada di lantai bawah TKB membuatnya gampang banjir jika hujan turun. Jika begitu, Ida musti sewa alkon untuk menyedot air tersebut. Selain itu, yang tak kalah mahalnya adalah air yang disuplai PT Air. Setiap bulan ia harus membayar Rp 400 ribu.

Komersialisasi aset negara yang diperuntukkan bagi kepentingan pelayanan publik membuat Kepala Ombundsman Perwakilan Sulut Helda Tirajoh heran. Menurut dia, fasilitas sesederhana toilet untuk umum tak bisa dimanfaatkan untuk mencari keuntungan karena statusnya sebagai aset yang dibangun dari anggaran negara.

"Fasilitas publik yang dibangun negara harusnya gratis. Kalau memang ada pungutan, harus ada dasar hukumnya. Kalau tidak ada dasar hukum diartikan sebagai pungutan liar," katanya.

Ia juga heran, sekelas toilet bisa dikomersialkan. Sangat mengada-ada jika dengan alasan untuk pemeliharaan kebersihan fasilitas kemudian dikenakan biaya ke masyarakat.
"Kan harusnya ada biaya pemeliharaan dari instansi berwenang yang mengaturnya. Mudah-mudahan tidak terjadi sudah ada biaya pemeliharaan, tapi dikomersialkan lagi, keuntungan masuk kantong pribadi," ungkapnya.

Hal ini, kata dia, sangat bertentangan dengan UU Nomor 25 tentang Pelayanan Publik. Jika menyalahi aturan, penyelenggara di situ patut diduga turut menyalahi aturan. Pelaku bahkan bisa terancam sanksi karena membisniskan aset milik negara untuk kepentingan pribadi. "Malah bisa dikatakan kalau kategorinya seperti itu masuk tindak pidana korupsi," sebut dia.

Penjaga di terminal

Di Terminal Malalayang, pengelola terminal yang bernaung di bawah Dinas Perhubungan Kota Manado memberikan tanggung jawab pengelolaan toilet kepada Adri. Sudah tiga tahun ia bertugas di situ. Karena penjagaan Adri dan istrinya, toilet di terminal itu terjaga kebersihannya. "Kadang masuk jam lima pagi, kemudian gantian pada jam tiga sore, tapi tergantung juga pengaturan kami," kata dia kepada Tribun Manado, Rabu (23/7/2014).

Saat ditemui, Adri sesekali menyiramkan air ke lantai toilet dan mengeringakan dengan kain pel, kemudian menyiramkan cairan pembersih dan pewangi lantai seusai pengunjung menggunakan toilet. Kehadirannya membuat toilet di situ tak tercium bau. Pengunjung pun wajib menyetor rupiah kepadanya. "Terserah mereka mau bayar berapa. Ada yang Rp 2 ribu, ada juga yang memberi lebih," ungkapnya.

Pendapatan harian, kata dia, kadang banyak, kadang pula sedikit, tergantung ramai tidaknya warga menggunakan toilet. Setoran pengunjung itu kemudian ia setorkan ke pengelola terminal. "Semua yang didapat setor, dan nanti mereka yang berikan bagian saya," jelasnya.

Ia mengaku hanya bertugas menjaga dan membersihkan toilet. Peralatan penunjang toilet seperti listrik, air, pembersih, ditanggung pengelola terminal.

Gratis untuk hakim

Kondisi serupa juga tampak di Pengadilan Negeri Manado. Tarif sudah terpampang di dekat toilet. Buang air kecil harus bayar Rp 1.000, buang air besar Rp 2.000. Warga yang baru saja menggunakan toilet memasukkan uang ke dalam toples yang sudah disediakan. Kewajiban membayar tidak berlaku untuk hakim, pengacara, jaksa, dan semua pegawai Pengadilan Negeri.

Olinda, sang penjaga toilet, mengaku mendapatkan upah dari toilet itu. Rata-rata sehari bisa Rp 50 ribu. Dari uang yang terkumpul dari pengunjung, Olinda membelikannya juga alat-alat pembersih seperti sikat, cairan pembersih.

"Untuk biaya sehari-hari baik untuk membersihkan maupun upah bagi penjaga dan tukang bersih, dari Pengadilan tidak memberikan. Kalau untuk biaya perbaikan ada," ujar Mourets Muaja, Kasubag Umum PN Manado.(ryo/art/amg/dik)


Anda sedang membaca artikel tentang

Bisnis Toilet Bisa Termasuk Korupsi!

Dengan url

http://dimanadoyodo.blogspot.com/2014/07/bisnis-toilet-bisa-termasuk-korupsi.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Bisnis Toilet Bisa Termasuk Korupsi!

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Bisnis Toilet Bisa Termasuk Korupsi!

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger