Tajuk Tamu : Presidensialisme Korupsi Partai

Written By Unknown on Kamis, 29 Mei 2014 | 11.36

Bambang Arianto

Direktur Eksekutif dan Peneliti Politik Bulaksumur Empat Yogyakarta

TRIBUNMANADO.CO.ID - Sejak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Agama Suryahharma Ali (SDA) yang sekaligus Ketua Umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai tersangka dalam kasus penyelenggaraan akomodasi haji, ingar-bingar koalisi pencapresan kembali dipenuhi sikap keprihatinan.

Namun, walaupun bertepatan dengan ingar-bingar koalisi pencapresan, kita berharap lembaga anti-rusuah dapat bersikap netral dalam mengusut tuntas kasus yang menimpa Ketua umum PPP tersebut. Apalagi secara kebetulan SDA menjadi pendukung pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Prabowo Subianto-Hatta Rajasa, yang akan bertarung melawan pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Jusuf Kalla (JK) dalam kontestasi presidensial 9 Juli 2014 mendatang.

Keterlibatan SDA menyangkut penyelewengan anggaran penyelenggaraan haji yang berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dana masyarakat. Padahal, selama ini banyak cerita mengenai sejumlah jemaah calon haji yang pontang-panting menyisihkan uangnya demi tujuan berangkat haji ke Tanah Suci. Bahkan, ada pula dari calon jemaah haji yang rela menjual tanah, sawah, dan sejumlah harta bendanya. Memang agak sulit dipercaya, jerih payah masyarakat yang menabung untuk berangkat haji akhirnya diselewengkan untuk kepentingan pribadi dan golongan.

Deskripsi tersebut menyiratkan kepada kita bila uang sejak lama menjadi tracer element (elemen penjejak) tentang bagaimana kekuasaan dikelola, dan bagaimana agensi politik bekerja sebagaimana lembaga kepartaian. Uang acap dinilai sebagai alat yang sah untuk membeli dan memfasilitasi apa pun, termasuk pengendalian arus informasi, bahkan keputusan politik.

Herbert Alexander dalam Financing Politics: Money, Elections and Political Reform (2003) menilai uang sangat penting bagi politik karena sifat konvertabilitasnya. Hal ini didasari oleh kemampuannya untuk dapat dipertukarkan dan dipindah-tangankan untuk kebutuhan apapun termasuk elektoral. Alhasil, kemampuan memiliki uang bagi simpul politik dapat  parameter kekuatan dan kesuksesan sebuah partai politik.
Politik kekuasaan

Dekade terakhir kita mengenal keterlibatan veto player (petinggi partai) yang tersandung sengkarut korupsi-suap, seperti presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Lutfhi Hasan Isaaq, dan Anas Urbaningrum sang ketua umum Partai Demokrat. Fenomena keterlibatan presiden dan ketua umum partai politik dapat disebut sebagai "presidensialisme korupsi partai".

Hal ini didasari oleh semakin membengkaknya ongkos politik menyebabkan para veto players mencari akal guna mengelembungkan pundi-pundi keuangan partai dengan menjarah uang negara, meski harus mengorbankan the rule of law dan mengangkangi kesucian politik.
Penyelewengan politik kekuasaan yang dilakukan petinggi partai akan menjadi penyebab utama mandulnya tatanan demokrasi kepartaian.

Partai politik akhirnya menjadi alat untuk dapat menggiring hasil jarahan lebih banyak ke pangkuan pribadi dan golongan. Perlahan namun pasti gejala ini akhirnya telah menambah rusaknya pelembagaan sistem kepartaian.

Disfungsi pelembagaan partai juga dapat dicerna dari kewenangan over-limit yang dimiliki veto players. Walhasil, semakin membuat mereka leluasa menggunakan politik kekuasaan sebagai alat legitimasi bersikap korup. Friedrich Nietzche (1998) bahkan pernah berujar, kekuasaan bukan untuk diingkari, melainkan diraih, dirayakan dan digunakan untuk mencipta bukan untuk bertindak korup.

Perilaku itu dibenarkan oleh Arendt dalam The Origins of Totalitarianism (1951). Disebutkan dia, banalitas kejahatan merupakan perilaku yang timbul karena lemahnya sistem birokratik organisasional dan kepercayaan pada tujuan akhir perjuangan. Sehingga, dalam ranah ekonomi-politik, veto players kerap memiliki wewenang yang dominan dalam mengembangkan modal dan menyiasati sistem secara legal-etis. Veto players juga dipercaya tetap eksis di tengah cuaca politik apa pun karena punya saham dikekuasaan politik.

Kultur politik kita memang telah mengalami disorientasi dan jauh dari etika berpolitik. Euforia politik masih terasa sekali, di mana kekuasaan lebih mengemuka ketimbang berpolitik untuk mengabdi. Sengkarut korupsi-suap akhirnya bersifat fungsional bagi upaya pemeliharaan sistem politik dan memiliki efek distributif di kalangan aktor-aktor politik sebagai upaya perekat patron-klien. Memodali politik tentu saja bukan sesuatu yang salah, namun semestinya etis, wajar serta tetap menegakkan prinsip akuntabilitas dan transparasi.

Partai Demokrat, PKS dan PPP telah menjadi segelintir dari sekian banyak parpol yang terjerembab pada logika komunalistik dan kompetisi. Logika kompetesi bukan menjadi pembenaran untuk melakukan segala cara, apalagi mengunakan politik kekuasaan demi menjarah uang negara. Logika politik jelas berbeda dengan logika hitungan bisnis.

Ulah nakal segelintir veto player berpengaruh terhadap gejala penyangkalan terhadap partai (the denial of party) dan the redundancy of party yang terus menguat. Parpol akan semakin terbebani dengan tugas menjaga eksistensi di alam demokrasi agar tetap menyeimbangkan peran sebagai linkage antara citizen dan state (Key Lawson, 1988). Bila, gejala presidensialisme korupsi partai yang telah menjadi kebiasaan buruk, tidak segera diubah, bisa jadi partai politik akan semakin ditinggalkan oleh rakyat. (*)


Anda sedang membaca artikel tentang

Tajuk Tamu : Presidensialisme Korupsi Partai

Dengan url

http://dimanadoyodo.blogspot.com/2014/05/tajuk-tamu-presidensialisme-korupsi.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Tajuk Tamu : Presidensialisme Korupsi Partai

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Tajuk Tamu : Presidensialisme Korupsi Partai

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger