Editorial: Pemimpin Melayani Rakyat

Written By Unknown on Sabtu, 20 September 2014 | 11.35

TRIBUNMANADO.CO.ID - Belasan tahun sejak Soeharto lengser dari jabatannya dan mahasiswa beramai-ramai menceburkan diri ke dalam kolam Bundaran Hotel Indonesia, pancang reformasi mulai goyah karena ulah sebagian kelompok elit yang ingin Indonesia masuk ke mesin waktu dan kembali ke sistem pemilihan oleh DPRD.

Banyak alasan pembenaran dibuat. Apakah ini sebuah kemunduran arus demokrasi? Koalisi Merah Putih/ KMP (Partai Golkar, Demokrat, Gerindra, PPP, PAN dan PKS) ngotot mengatakan bahwa sistem ini akan lebih efisien dan mengurangi potensi konflik di masyarakat.

Bagaimana dengan pendapat publi. Representasi penilaian publik dapat dirujuk melalui hasil survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI), menunjukan 81,25 persen responden menyatakan setuju Kepala Daerah dipilih secara langsung. Hanya 10,71 persen yang menyetujui Kepala Daerah dipilih secara tak langsung (Tempo.co 10/9/14).

Ini menunjukan rakyat lebih banyak yang menghendaki Pilkada langsung.  Kekuatan rakyat yang berdaulat secara tegas telah diamanatkan dalam Pasal 1 Ayat 2 UUD NRI 1945. "kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD." Karena itu, pemilu apapun macam dan namanya harus berlandaskan pada daulat rakyat sebagai hak fundamental yang diakui oleh konstitusi.

Penting untuk diketahui, bahwa kedaulatan tersebut mesti dilaksanakan menurut UUD (bukan menurut UU), sehingga baik Pileg, Pilpres, maupun Pilkada harus berlandaskan pada daulat rakyat yang terdapat dalam UUD. Jadi niat untuk kembali ke sistem Pemilihan Kepala Daerah langsung via DPRD tidak dapat dilepaskan dari makna daulat rakyat yang terdapat dalam Pasal 1 Ayat 2 UUD NRI 1945.

Sekalipun terdapat sanggahan bahwa instruksi yang diberikan oleh konstitusi dalam Pasal 18 Ayat 4 UUD NRI 1945. "Gubernur, Bupati, Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah dipilih secara demokratis." Yang menyebabkan sistem Pemilukada menjadi "open legal policy" dapat ditafsir ke demokrasi perwakilan. Namun dalam kaca mata hukum maupun dalam kacamata sosiologis nalar demikian tetap akan terbantahkan.

Secara hukum, dengan menafsirkan frase demokratis dalam model yang tidak konsisten. Sama halnya, melaksanakan konstitusi tidak konsisten, yang bermuara pada tidak adanya kepastian hukum.

Di tambah lagi, hadirnya kata demokratis dalam Pasal 18 Ayat 4 adalah amandemen kedua. Dalam perubahan yang kedua tersebut, memang belum pernah terjadi kesepakatan pemilihan langsung untuk sistem pemilu kita. Nanti pada amandemen ketiga, muncul pemikiran untuk menganut sistem pemilihan langsung, maka diterapkanlah untuk pemilihan Presiden. Seandainya saja pembahasan amandemen untuk sistem pemilihan pemerintahan daerah bersamaan ataukah terjadi setelah masa pembahasan Pemilihan Presiden yang menganut demokrasi langsung, maka boleh saja Pemilihan Kepala Daerah dianggap tidak pernah dipikirkan untuk menganut demokrasi langsung.

Pun kalau DPRD menganggap dirinya dapat mewakili kepentingan "daulat rakyat" sampai saat ini tidak ada jaminan, mereka akan bekerja benar-benar karena amanat daulat rakyat. Justru kembali ke Pilkada tak langsung, dua organ kekuasaan ini (Kepala Daerah dan DPRD) akan semakin terbuka peluang melakukan transaksi politik. Pemimpin melayani rakyat, bukan pertama-tama wakil rakyat, yang selama ini masih sulit dicari mana yang benar-benar mewakili rakyat.

Maka dengan itu, sebuah "keremangan" yang memang hendak dibangun untuk kembali pada Pemilukada tak langsung, Kepala Daerah tidak perlu lagi bekerja keras menjalankan kepentingan "daulat rakyat". Cukup menjalin konspirasi bersama anggota dewan, semua kebijakan kerjanya akan berjalan lancar. Dalam situasi yang seperti ini, posisi rakyat dengan pemimpin, jelas semakin menjauh, karena bukan lagi dalam kawalan rakyat untuk menagih semua janji-janji politiknya. Janji-janji politiknyapun boleh jadi rakyat tidak tahu menahu, semuanya tinggal diserahkan kepada wakil rakyat yang bernama DPRD.

Demokrasi yang bersandar pada kedaulatan rakyat, semua pergerakan wakil rakyat ditujukan ke cita-cita kesejahteraan rakyat. Kalau toh, karena dalil kalah di perhelatan Pilpres, kemudian ingin mencari kemenamgan sejati di parlemen. Maka semua fraksi yang getol mengegolkan RUU Pilkada tersebut. Tidak salah kalau memunculkan stigma, DPR tidak hanya akan mengamputasi, mengebiri dan merampas daulat rakyat, tapi juga telah melakukan penghianatan besar-besaran terhadap konstitusi. (*)


Anda sedang membaca artikel tentang

Editorial: Pemimpin Melayani Rakyat

Dengan url

http://dimanadoyodo.blogspot.com/2014/09/editorial-pemimpin-melayani-rakyat.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Editorial: Pemimpin Melayani Rakyat

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Editorial: Pemimpin Melayani Rakyat

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger