Tajuk Tamu : Antara Kawin dan Proklamasi

Written By Unknown on Selasa, 19 Agustus 2014 | 11.36

Mujiburrahman
* Dosen IAIN Antasari Banjarmasin

TRIBUNMANADO.CO.ID - Kawin di Hari Kemerdekaan mungkin terasa spesial, sehingga cukup banyak warga yang melaksanakan walimah perkawinan pada Ahad kemarin.

Selain karena 17 Agustus adalah hari istimewa bagi bangsa Indonesia, kelak kedua pasangan akan mudah mengingat ulang tahun pesta perkawinan mereka.

Kalau direnungkan lebih jauh, pesta perkawinan dan peringatan Hari Kemerdekaan bisa pula dikiaskan. Hari Kemerdekaan merupakan titik penting dari perjuangan bangsa melawan penjajahan, sebagaimana pesta perkawinan adalah titik penting dari proses pembentukan hubungan antara dua insan untuk membina rumah tangga. Disebut 'titik penting' karena ia adalah akhir sekaligus awal yang penting.

Dalam rangka 17 Agustus, upacara bendera nan khidmat dilaksanakan di mana-mana, dan penghargaan diberikan kepada para teladan. Lomba-lomba rakyat seperti tarik tambang, membawa kelereng dalam sendok, lari dalam karung dan panjat pinang, juga ramai dilaksanakan. Begitu pula dengan pesta perkawinan. Rupa-rupa makanan disediakan. Pengantin dan pelaminan dihias indah. Juru foto disiapkan.

Namun, setelah pesta dilaksanakan, tantangan hidup tidaklah usai. Pesta itu justru menjadi titik awal dari perjuangan meraih cita-cita mulia. Pesta perkawinan yang meriah dan mewah, sama sekali tidak menjamin kebahagiaan rumah tangga. Begitu pula, khidmatnya upacara 17 Agustus, tidak menjamin bahwa cita-cita kemerdekaan untuk mencapai masyarakat adil, makmur dan sejahtera, akan terwujud.

Kalau kita menengok sejarah, justru setelah Proklamasi 17 Agustus 1945, perjuangan kemerdekaan benar-benar dahsyat, yang dikenal dengan Perang Revolusi (1945-1949), ketika Belanda ingin kembali menjajah Indonesia, dengan membonceng tentara NICA (Netherlands Indies Civil Administration). Ratusan ribu bahkan jutaan orang tewas, dan puluhan juta lainnya hidup dalam penderitaan.

Gambaran tentang dahsyatnya zaman revolusi itu, bisa ditemukan dalam karya-karya yang ditulis para pengarang, yang mengalami sendiri masa itu. Hidup serbasusah. Ada semangat membara para pemuda yang kadangkala membabi buta. Ada keraguan orang-orang dewasa. Ketakutan menjalar ke seluruh negeri. Ada kesetiaan, ada pula pengkhianatan. Banyak yang tulus, banyak pula yang munafik.

Pramoedya Ananta Toer, dalam novel Keluarga Gerilya (1950), dengan apik dan rinci menggambarkan penderitaan sebuah keluarga janda tua yang hidup melarat bersama lima anaknya. Saaman, anaknya yang selama ini bekerja menghidupi keluarga, justru terlibat dalam gerilya. Ia tertangkap dan akhirnya dihukum mati. Si ibu pun ikut mati, sementara si adik yang cantik telah dirusak kehormatannya.

Mochtar Lubis, dalam novel Jalan Tak Ada Ujung (1952), menggambarkan penderitaan lahir batin Guru Isa yang lembut dan antikekerasan, tetapi terpaksa ikut terseret dalam perang revolusi. Pembunuhan sadis yang ia dengar dan saksikan, ledakan granat dan suara-suara tembakan setiap hari, membuatnya benar-benar takut.

Guru Isa tidak hanya sering sakit akibat ketakutan, tetapi jugamengalami impotensi, padahal isterinya masih muda dan cantik.

Tak kalah menarik ialah catatan tokoh pejuang dan pahlawan nasional asal Kalimantan Selatan, Hassan Basry (w. 1964) dalam Kisah Gerila Kalimantan (1961). Ia mencatat, banyak kaum elit yang munafik dan ingin mencari keuntungan sendiri, lalu bergabung dengan NICA. Mereka itu disebutnya sebagai orang yang 'berjiwa milir bersama air surut, mudik bersama air pasang, dan bertengger di batang timbul'.

Setelah perang usai, ternyata tidak semua pejuang diberi penghargaan yang layak. Anggota ALRI Divisi IV yang dipimpinnya, secara berangsur dikembalikan ke masyarakat dengan pesangon hanya 1,5 meter kain dan uang Rp 50! "Perjuangan di Kalimantan ibarat permainan sandiwara, yang setelah selesai pertunjukan dan layar diturunkan, para pemainnya kembali ke asalnya," tulis Hassan Basry dengan pilu.

Demikianlah sejarah menunjukkan, Proklamasi 17 Agustus 1945, merupakan awal ketimbang akhir, dari perjuangan kemerderkaan. Perjuangan itu ternyata tidak hanya melawan para penjajah, tetapi melawan hasrat-hasrat buruk yang ada dalam diri tiap manusia. Jujur dan dusta, tenang dan takut, setia dan khianat, bukanlah monopoli zaman revolusi. Mereka selalu ada bersama kita, dalam diri kita.

Itulah perjuangan kemerdekaan yang sesungguhnya. Itulah perjuangan manusia yang susah payah ingin meraih bahagia, baik dalam hidup berumahtangga ataupun berbangsa dan bernegara.(*)


Anda sedang membaca artikel tentang

Tajuk Tamu : Antara Kawin dan Proklamasi

Dengan url

http://dimanadoyodo.blogspot.com/2014/08/tajuk-tamu-antara-kawin-dan-proklamasi.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Tajuk Tamu : Antara Kawin dan Proklamasi

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Tajuk Tamu : Antara Kawin dan Proklamasi

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger