Ini Serangan Jantung, Bukan Masuk Angin!

Written By Unknown on Jumat, 06 Juni 2014 | 11.35

TRIBUNMANADO.CO.ID - Banyak orang "mengenal" serangan jantung seperti yang digambarkan dalam film atau sinetron, yakni mata mendelik, dada sesak, dan tangan memegangi dada ketika pingsan. Padahal, adakalanya rasa sakit tidak mengikuti pola tertentu, bahkan tanpa diikuti rasa nyeri dada.

Simak kisah serangan jantung seperti yang dialami M.Latief (38). Jurnalis yang memiliki hobi naik gunung ini mengalami serangan jantung ringan dengan gejala mirip masuk angin. Inilah pengalamannya.

Serasa baru selesai joging jarak jauh, keringat seketika mengucur deras dari kening, leher, dan sebagian badan saya. Anehnya, itu keringat dingin, bukan hangat. Dingin sekali.

Sedetik keringat menderas, tiba-tiba dada juga terasa sesak, diikuti tengkuk hingga bahu yang menegang. Fun City, tempat permainan anak Margo City, Depok, tempat saya berdiri itu, seperti pelan-pelan menyempit, mengimpit.

Pikiran saya mulai kalut. Maklum, baru kali ini mendadak kondisi badan "drop" secepat itu dengan tanda-tanda yang aneh, tak biasanya.

Dalam pada itu, rasa sesak di dada semakin menjadi. Awalnya memang sesak biasa, tapi perlahan-lahan makin terasa nyeri, seperti diremas-remas dengan keras, bahkan lebih dari itu, seperti diinjak-injak. Nafas makin sulit.

"Aneh, kok begini," batin saya.

Maklum, perubahan kondisi tubuh mendadak seperti ini baru saya alami. Rasanya seperti masuk angin, tapi anehnya bukan seperti masuk angin biasa. Lebih dari masuk angin.

Pelan-pelan saya coba bernapas. Keringat makin deras. Kaki juga mulai lemas.

Ada sekitar hampir tiga menit perubahan aneh itu berlangsung pada diri saya. Saya lalu panggil kedua anak saya.

"Abang, adik, ayo udahan dulu mainnya. Dada ayah sesak, ayah mau ke dokter sekarang. Nanti, kalau ketemu ibu, kamu bilang ke ibu ya Bang, dada ayah sesak dan keluar keringat dingin," kata saya kepada kedua putra saya, Azka (9) dan Azzam (5).

Sebelum kejadian itu, isteri saya memang izin pergi sejenak ke toilet. Hanya saya yang menemani kedua anak saya di tempat hiburan di lantai dasar pusat belanja tersebut. Namun, tak sampai lima menit isteri saya pergi, kejadian itu berlangsung.

Saya dan kedua anak saya pun bergegas ke lantai satu, menyusul isteri saya. Prinsip saya, jalan pelan-pelan dan usahakan tetap sadar atau tidak pingsan. Otak saya hanya memerintah untuk selekasnya ke rumah sakit.

Hanya dituntun dua bocah berumur belum genap 10 tahun, saya cuma bisa pasrah. Sambil menahan sesak, saya berjalan pelan-pelan dituntun kedua anak saya. Azka di kiri, Azzam memegang tangan kanan.

Saya tak menghiraukan ramainya pusat belanja ini. Meskipun kepala tidak terasa pusing, kaki saya lemas sehingga saya harus pelan-pelan mengikuti langkah kedua anak saya. Bahkan, dengan berusaha tetap tenang, kami bisa melewati eskalator menuju lantai satu.

"Lho, kamu kenapa? Kok dingin banget? Kamu masuk angin nih kayaknya," kata isteri saya, setelah kami bertemu dengannya.

Azka, anak saya yang nomor satu memotong. "Dada Ayah sesak, keringatnya dingin Bu, ayah minta ke dokter," ujar Azka.

Saya masih sadar, tapi saya memang sudah tak mau bicara apa-apa. Dada saya makin sesak. Karena itu, saya biarkan anak saya yang bicara untuk menghemat energi supaya tidak pingsan.

"Kamu masuk angin nih. Ya sudah, kita pulang sekarang saja ya," kata isteri saya.

"Enggak, ini aneh. Rumah sakit....ke rumah sakit sekarang," kata saya.

"Kok ke rumah sakit. Pulang aja ya. Kamu tunggu dan duduk di sini, aku beli minyak angin dulu," jawab isteri saya.

Nyaris, marah saya meledak. Tapi saya sadar, marah hanya akan menguras energi. Jadi, saya acuhkan ucapan isteri saya.

Saya juga tak mau duduk, melainkan tetap berdiri sembari berpegangan pada dinding mall. Pikir saya, duduk hanya akan bikin sesak di dada semakin parah.

Setengah berlari, isteri saya kembali menghampiri. Dia baru selesai dari apotek.

"Kamu masuk angin nih, sini aku olesin dada kamu. Punggungnya juga sini," kata isteri saya.

Saya diamkan isteri saya berbuat demikian. Tapi, hati saya makin kuat, bahwa ini bukan masuk angin. Entah, "feeling" saya bilang lain.

"Sekarang ke rumah sakit. Cari taksi sekarang. Ini jantung, jantung," bentak saya.

Tanpa banyak cakap, kami berempat bergegas ke luar pusat belanja. Dari tempat kami berdiri, gerbang mall ini masih sekitar 200 meter.

Rasanya, sudah lebih dari 5 menit perubahan aneh pada kondisi badan saya ini berlangsung. Saya sadari itu. Maka, pelan-pelan kami berjalan melewati kerumunan. Saya dituntun kedua anak saya di kiri dan kanan. Isteri saya berjalan di belakang untuk menahan punggung saya.

"Itu taksi," kata isteri saya, beberapa meter di pintu gerbang.

"Pak, ke rumah sakit ya, yang paling dekat," ujar isteri saya.

Taksi langsung meluncur. Namun, baru sesaat masuk ke jalan raya, panik mulai melanda. Bukan apa-apa, dada saya makin sesak. Dashboard taksi ini seperti menghimpit. Badan saya juga makin lama semakin lemas.

"Tuhan...saya ingin sampai lebih dulu ke rumah sakit, jangan dulu biarkan saya mati," batin saya terus berkata demikian diantara istigfar saya di mulut.

Doa saya terkabul. Saya sadari itu meskipun mata saya terpejam menahan sakit di dada. Pasalnya, Jalan Margonda Raya yang biasanya macet di hari libur, siang itu nyaris lengang. Hari itu, Kamis, 29 Mei 2014, adalah hari libur Kenaikan Isa Almasih.

Tak sampai 10 menit, saking ngebutnya, taksi sudah berbelok ke Rumah Sakit Mitra Keluarga, tak jauh dari Terminal Depok.

Tiba di UGD, semangat saya kembali muncul. Saya keluar taksi sendiri tanpa dibantu supir taksi. Saya berjalan pelan-pelan, dan tetap diapit kedua anak saya serta isteri saya yang menahan bahu saya dari belakang.

"Dada sesak, keringat dingin," ujar isteri saya ke petugas UGD yang datang membuka pintu sembari menyorongkan tempat tidur.

Saya ingat betul, saat itu saya langsung diminta duduk di tepi tempat tidur dan diminta diam sebentar.

"Angkat lidahnya Pak, telan ini dan habiskan," ujar seorang petugas sembari memasukkan obat berbentuk bubuk ke balik lidah saya.

Sekonyong-konyong, selesai melumat obat tersebut, nyeri di dada saya perlahan menghilang. Petugas pun meminta saya berbaring, dan kemudian memasangkan selang oksigen ke hidung saya. Tangan kiri saya pun lantas diberi cairan infus.

Memang, meskipun rasa sesak di dada belum hilang, nyerinya sedikit berkurang. Untuk itulah, saya diminta lagi untuk menghabiskan obat yang juga sudah disiapkan oleh seorang suster.

Ada 7 butir obat disorongkan suster itu kepada saya. Sambil juga membawa segelas air, dia meminta saya selekasnya minum obat tersebut.

"Habiskan pak," ujarnya.

Hanya 5 menit usai menenggak habis ketujuh obat itu, nyeri di dada saya hilang seketika. Tak ada lagi sesak, apalagi nyeri. Suhu tubuh saya pun mulai berubah hangat.

Seorang dokter muda, dokter jaga di UGD tampak menghampiri saya. Ia bilang, tujuh obat itu adalah obat jantung.

"Bapak kena serangan jantung ringan. Terlambat lima menit saja, mungkin Bapak sudah enggak ada lagi. Baiklah, Bapak kami rawat di sini ya," ujar dokter muda tersebut.

Saya cuma mengangguk lemah. Dari balik pintu UGD, saya lihat Azka dan Azzam, melambai-lambaikan tangan ke arah saya sembari tersenyum. Kedua "pahlawan" saya itu tidak diizinkan masuk ke dalam ruangan, termasuk isteri saya yang repot ke sana-kemari mengurus perawatan selanjutnya.

Pembengkakan jantung

HARI ini, Kamis (5/6/2014), tepat seminggu lalu serangan jantung ringan itu terjadi, kondisi saya sudah berangsur pulih dan semakin baik setelah dirawat selama 6 hari di RS Mitra Keluarga. Vonis dokter, saya harus mengurai kembali pola hidup sehat agar kejadian itu tak lagi terulang.

Saya tak punya riwayat jantung. Saya pun suka berolahraga, terutama joging, meskipun hanya dua kali seminggu. Bahkan, di umur 38 tahun ini, saya masih menyalurkan hobi saya mendaki gunung.

Ya, dua pekan sebelum kejadian ini, saya juga baru pulang mendaki Gunung Gede, Jawa Barat, bersama teman-teman. Saya rutin mendaki gunung setahun dua atau satu kali.

"Bapak memang kelihatan sehat dan banyak orang terkena serangan jantung juga dalam kondisi sehat. Tapi, kemarin itu, saat serangan datang, jantung bapak lemah untuk memompa oksigen. Sekarang, kondisi Bapak sudah membaik, meskipun masih ada pembengkakan. Bapak harus mengubah pola makan dan stop merokok," kata Dr Bona Dwiramajaya H,  SpJP, FIHA, yang merawat saya.

Beruntung, penanganan ketika terjadi serangan itu bisa saya lakukan cepat dan tepat, terutama berkat bantuan isteri dan kedua anak saya. Biasanya, dengan gejala umum seperti keringat dingin yang berlebihan, dada sesak dan nyeri, serta tengkuk dan bahu tegang bukan main, waktu-waktu krisis (golden time) kala serangan itu datang, orang masih belum "ngeh" bahwa itu serangan jantung ringan. Lazimnya, orang berpikir itu adalah masuk angin.

Memang, tak bisa dimungkiri, gejalanya seperti masuk angin, yang dalam bahasa Betawi, sudah "kedalon" atau akut. Orang seringkali menganggapnya demikian. Bedanya, datangnya sangat tiba-tiba dan berbarengan, mulai keringat dingin berlebihan, dada sesak dan lebih nyeri, terasa tegang atau pegal mulai sekitar tengkuk hingga bahu.

Di situlah "feeling" yang kuat perlu Anda gunakan jika sewaktu-waktu gejala itu menimpa Anda. Pasalnya, Anda sendiri yang merasakannya, bukan orang-orang di sekitar Anda. Maka camkan, bahwa itu bukan masuk angin biasa....


Anda sedang membaca artikel tentang

Ini Serangan Jantung, Bukan Masuk Angin!

Dengan url

http://dimanadoyodo.blogspot.com/2014/06/ini-serangan-jantung-bukan-masuk-angin.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Ini Serangan Jantung, Bukan Masuk Angin!

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Ini Serangan Jantung, Bukan Masuk Angin!

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger